Halaman

Powered By Blogger

Sabtu, 29 Desember 2012


Kampus Kecil Kampus Madani


 Peradaban madani sebuah Negara terlahir dari beberapa peradaban kecil, yaitu masyarakat, keluarga dan diri sendiri. Masyarakat madani terbentuk dari para pemuda yang berkarakter qur’ani, inovatif, kreatif dan prestatif. Kampus merupakan salah satu wadah pendidikan bagi para pemuda dan pemudi nya, yang akan membangun sendi serta kerangka peradaban madani  sebuah Negara. Wilayah bogor memiliki sebuah kampus yang mampu mencuri perhatian dibanding kampus – kampus yang berada di wilayah Bogor kecuali IPB. Kampus yang terpencil ditengah masyarakat, kampus yang tidak begitu luas bahkan bisa dikatakan kampus kecil ditengah keramaian hiruk-pikuk masyarakat. Kampus ini sangat unik di balik fungsi nya sebagai kegiatan pembelajaran para kaum intelektual atau biasa disebut mahasiswa, kampus ini seperti memilki sebuah energy, semangat, dan  nuansa islami yang begitu kental. Ketika kita menginjakkan kaki di depan kampus tersebut ada pertanyaan yang pasti terbesit dalam pikiran kita yaitu “ apakah ini kampus atau sebuah pesantren?” ya terlihat dari awal saat langkah kita memasuki lapangan parkir atas dipenuhi pemuda dan pemudi yang ramah dengan menebarkan salam, banyak kelompok yang mengkaji al-qur’an atau sekedar berdiskusi tentang suatu masalah kampus.
 Hal ini tidak berhenti disini, ketika kita memasuki lebih dalam ke tempat pusat aktivitas kaum muslimin atau bisa kita sebut “ masjid”, disini memiliki suasana yang berbeda sebuah energi yang sangat kuat sebuah energi kerinduan akan RabbNya  berbeda sekali ketika kita masuk ke masjid-masjid di lingkungan masyarakat yang sepi dengan jamaah nya. Disini banyak kita temukan para kaum pemudi yang kebanyakan telah menutupi kehormatannya dengan sebuah hijabnya sedang asyik dengan al-qur’an nya, mengisi halaqoh/ mencari ilmu Allah, ataupun sekedar bermusyawarah membahas program yang bermanfaat untuk orang lain dengan tetap menjaga izzah antara pemuda dan pemudinya. Sungguh energy positif di tempat ini sangat luar biasa, semangat menggelora pemuda dan pemudinya dalam menyebarkan kebaikan mampu membuat siapa saja yang berada disekelilingnya terhipnotis untuk bergabung. Ditengah kesibukan akademik mereka masih sempat bertemu RabbNya untuk berinteraksi dengan cara mengisi segala aktivitas yang bermanfaat untuk orang lain. 
Hal lain yang mencuri perhatian saya tidak hanya aktivitas kampus ini yang begitu unik, tetapi keramahan dan kehangatan menyambut tamu sungguh mengingatkan saya kepada teladan saya yaitu Rasullullah yang selalu menyambut saudaranya dengan kehangatan yang membuat sebuah kenyamanan. Kampus ini bukan sekedar kampus biasa yang hanya melaksanakan kegiatan akademisi, tapi kampus yang mampu mencetak Generasi Rabbani dan Qur’ani yang kreatif, prestatif dan inovatif serta peduli dengan lingkungan sekitar. Inilah kampus saya AKADEMI KIMIA ANALISIS BOGOR sebuah kampus madani, ya kampus yang mendidik saya bukan hanya sekedar ilmu eksak tapi sebuah ilmu kehidupan. Beruntunglah Allah membawa saya untuk menginjakkan langkah masa depan saya melewati kampus ini sehingga membawa saya mengenal Allah dan RasulNya serta memberikan saya ilmu akademis. Kerinduan selalu mendera setiap saat ketika memikirkan kampus ini entah mengapa hal ini selalu terjadi, kerinduan akan kehangatan ukhuwah, kerinduan akan idealisme, kerinduan akan perjuangan bersama sahabat. Saya berharap bahwa kampus ini akan selalu menjadi kampus madani, kampus yang selalu berprestasi, kampus yang selalu memancarkan kebermanfaatan bagi oranglain dan kampus yang mampu mencetak kaum intelek yang berkarakter Rabbani.


by : TRSU

BERNIAT    DALAM   BERAMAL
عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .
[رواه إماما المحدثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة البخاري وابو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة

Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin al-Khaththab radiallahuanhu, dia berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: ‘Sesungguhnya setiap  perbuatan itu tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.’” [1]

Sebuah rangkaian hadist ar’bain pertama yang memberikan kita sebuah pedoman  bahwa
"Sesungguhnya Seluruh Amalan Itu Bergantung Pada Niatnya"

Dalam rangkain hadist arbain pertama terdapat beberapa lafadz dalam sabda rassulullah saw  karena lafadz العمل dan النية dalam bentuk tunggal mencakup seluruh jenis amalan dan niat. Di dalam sabda beliau [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya] terkandung pembatasan.

Karena lafadz "innama" merupakan salah satu lafadz pembatas seperti yang dijelaskan oleh ahli bahasa. Pembatasan tersebut mengharuskan setiap amalan dilandasi dengan niat, Terdapat beberapa pendapat mengenai maksud sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam بالنيات لعمالإنما.ا
Pendapat pertama, mengatakan sesungguhnya maksud dari sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ات _ ال بالني _ إنما العم yaitu keabsahan dan diterimanya suatu amalan adalah karena niat yang melandasinya, sehingga sabda beliau ini berkaitan dengan keabsahan suatu amalan dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam selanjutnya امرئ ما نوى لكل وإنما maksudnya adalah seseorang akan mendapatkan ganjaran dari amalan yang dia kerjakan sesuai dengan niat yang melandasi amalnya. Pendapat kedua mengatakan bahwa sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam إنما العمال بالنيات menerangkan bahwa sebab terjadi suatu amalan adalah dengan niat, karena segala amalan yang dilakukan seseorang mesti dilandasi dengan keinginan dan maksud untuk beramal, dan itulah
niat. 
Maka faktor pendorong terwujudnya suatu amalan, baik amalan yang baik maupun yang buruk adalah keinginan hati untuk melakukan amalan tersebut. Apabila hati ingin melakukan suatu amalan dan kemampuan untuk melakukannya ada, maka amalan tersebut akan terlaksana. Sehingga maksud sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ات _ ال بالني _ ا العم _ إنم adalah amalan akan terwujud dan terlaksana dengan sebab adanya niat, yaitu keinginan hati untuk melakukan amalan tersebut. Dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki kandungan bahwa ganjaran pahala akan diperoleh oleh seseorang apabila niatnya benar, apabila niatnya benar maka amalan tersebut merupakan amalan yang shalih. Pendapat yang kuat adalah pendapat pertama, karena niat berfungsi mengesahkan suatu amalan dan sabda beliau [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya] adalah penjelasan terhadap perkara-perkara yang dituntut oleh syari'at bukan sebagai penjelas terhadap seluruh perkaraperkara yang terjadi. Kesimpulannya, pendapat terkuat dari dua tafsiran ulama di atas mengenai maksud dari sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya] adalah keabsahan amalan ditentukan oleh niat dan setiap orang mendapatkan ganjaran dan pahala sesuai dengan apa yang diniatkan.

Makna niat
Kata انِّيَّاتِ adalah bentuk jamak dari kata ‘niyyat’, yang secara bahasa berarti maksud dan tujuan. Adapun secara istilah syar’i artinya: kuatnya hati untuk melakukn suatu ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa-ta‘ala. Tempat munculnya niat adalah hati, dan niat (pada dasarnya) adalah perbuatan hati yang tidak ada kaitannya dengan amalan anggota tubuh lainnya (seperti mulut).
Tujuan adanya niat dalam suatu ibadah adalah untuk menjadi pembeda antara suatu perbuatan yang hanya merupakan adat kebiasaan (yang tidak bernilai pahala) dengan suatu amal ibadah (yang bernilai pahala). Tujuan lainnya adalah untuk menjadi pembeda antara ibadah yang satu dengan ibadah yang lainnya.
Dalam firman Allah Azza Wa Jalla makna dari niat mengandung dua makna, makna pertama niat yang berkaitan dengan ibadah manusia yaitu Niat dengan pengertian semacam ini sering digunakan ahli fikih dalam pembahasan hukum-hukum ibadah yaitu ketika mereka menyebutkan syarat-syarat suatu ibadah, semisal perkataan mereka "Syarat pertama dari ibadah ini adalah adanya niat" Niat dalam perkataan mereka tersebut adalah niat dengan makna yang pertama, yaitu niat yang berkaitan dengan zat ibadah itu sendiri sehingga dapat dibedakan dengan ibadah yang lain

Makna kedua  niat berkaitan dengan Zat yang disembah manusia yaitu memurnikan hati, niat dan amal hanya kepada Allah 'azza wa jalla.
Beberapa Faedah (Pelajaran) Dalam Hadits Arbain pertama:
1. Satu hadits tentang inti ajaran Islam, sebab kebanyakan ulama berkata: “Inti ajaran Islam kembali kepada dua hadits; pertama hadits ini, dan kedua, hadits ‘Aisyah, di mana beliau bersabda: ‘Siapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal darinya, maka dia tertolak.’” [2]Hadits yang pertama ini adalah rujukan serta timbangan amalan hati, sedangkan hadits ‘Aisyah merupakan rujukan untuk amalan lahiriah.
2. Kita wajib menentukan niat bagi masing-masing ibadah, juga wajib membedakan antara ibadah dan mu’amalah, berdasarkan sabda beliau Shallallahu’alaihi wasallam; “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya,” seperti orang yang akan melaksanakan shalat Zhuhur, maka ia harus berniat akan shalat Zhuhur, hingga bisa dibedakan dari yang lainnya.
3.  Mendorong kita untuk selalu ikhlas kepada Allah Subhanahu wa-ta‘ala, sebab Nabi Shallallahu’alaihi wasallam telah membagi manusia kepada dua macam. Pertama: manusia yang menginginkan dengan amalnya wajah Allah Subhanahu wa-ta‘ala dan balasan hari akhirat. Kedua: sebaliknya. Hal ini jelas sekali, Beliau Shallallahu’alaihi wasallam sangat menganjurkan kita untuk selalu ikhlas kepada-Nya.
4. Indahnya metode pengajaran Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, Nampak dari ragamnya penjelasan beliau serta pembagian materi yang rinci, (dengan harapan, para Sahabat memahami maksud dari ungkapan beliau). Di saat beliau bersabda: “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya,” maka yang beliau maksudkan adalah kepada amalan. Dan di saat beliau bersabda: “Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan,” maka yang beliau maksudkan adalah kepada hasil dari niatnya.
1] HR. Al-Bukhari, kitab Bad-ul Wahyi, bab: Kaifa Kaana Bad-ul wahyi ilaa Rasuulillahi Shallallahu’alaihi wasallam, (no. 1). Muslim, kitab al-Imaarah, bab: Qauluhu saw Innamal A’maalu binniyyah wa Annahu yadkhulu fiihi al-Ghazwu wa Gharihi minal A’maali, (no.1907 (155)).
[2] HR. Al-Bukhari, kitab as-Sulhu bab Idza Isthalahuu ‘ala Sulhi Juurin fash Shulhu Marduudun (no. 2647). Muslim, kitab alaqdhiyyah, bab Naqdhul Ahkaamil Baathilah, wa Raddul Muhdataatil Umuur, (no. 1718 (17)).

 by : TRSU

-->
Kedudukan Niat Dalam Amal - Penjelasan Hadits
Arbain Pertama (1)

"Dari Amirul Mukminin, Umar bin Khatthab radhiallahu 'anhu, beliau berkata: Sesungguhnya
seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai
dengan apa yang diniatkannya. Barang siapa yang berhijrah karena Allah dan rasul-Nya, maka
hijrahnya menuju keridhaan Allah dan rasul-Nya. Barang siapa yang berhijrah karena mencari
dunia atau karena ingin menikahi seorang wanita, maka hijrahnya tersebut kepada apa yang dia
tuju." (HR. Bukhari no. 1, Muslim no. 155, 1907)
Kedudukan Hadits
Hadits ini begitu agung hingga sebagian ulama salaf mengatakan, "Hendaknya hadits ini
dicantumkan di permulaan kitab-kitab yang membahas ilmu syar'i." Oleh karena itu Imam Al
Bukhari memulai kitab Shahih-nya dengan mencantumkan hadits ini. Imam Ahmad berkata,
"Poros agama Islam terletak pada 3 hadits, yaitu hadits Umar إنما العمال بالنيات , hadits 'Aisyah
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد , dan hadits An Nu'man bin Basyir الحلل بين والحرام
ن_ بي ." Perkataan beliau ini memiliki maksud, yaitu bahwasanya amalan seorang mukallaf berkisar antara melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan. Dua hal ini termasuk dalam perkara halal atau haram, selain itu terdapat jenis ketiga yaitu perkara syubhat yang belum diketahui secara jelas hukumnya, dan ketiga perkara ini terdapat dalam hadits An Nu'man bin Basyir. Dan telah diketahui bersama, seorang yang hendak mengamalkan sesuatu, baik melaksanakan suatu perintah atau meninggalkan larangan harus dilandasi dengan niat agar amalan tersebut benar. Maka nilai suatu amal bergantung kepada adanya niat yang menentukan amalan tersebut apakah benar dan diterima. Dan segala perkara yang diwajibkan atau dianjurkan Allah 'Azza wa Jalla harus diukur dengan timbangan yang pasti sehingga amalan itu sah dan hal ini ditentukan oleh hadits 'Aisyah di atas. Sehingga hadits ini senantiasa dibutuhkan di setiap perkara, di saat melaksanakan perintah, meninggalkan larangan dan ketika berhadapan dengan perkara syubhat. Berdasarkan hal itu, kedudukan hadits ini begitu agung, karena seorang mukallaf senantiasa membutuhkan niat, baik dalam melaksanakan perintah dan meninggalkan perkara yang haram atau syubhat. Semua perbuatan tersebut itu tidak akan bernilai kecuali diniatkan untuk mencari wajah Allah Jalla wa 'Alaa.
Tafsiran Ulama Mengenai "Sesungguhnya Seluruh Amalan Itu Bergantung Pada
Niatnya"
Terdapat beberapa lafadz dalam sabda beliau إنما العمال بالنيات terkadang lafadz النية dan العمل disebutkan dalam bentuk tunggal atau jamak walaupun demikian kedua bentuk tersebut memiliki makna yang sama, karena lafadz العمل dan النية dalam bentuk tunggal mencakup seluruh jenis amalan dan niat. Di dalam sabda beliau [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya] terkandung pembatasan. Karena lafadz "innama" merupakan salah satu lafadz pembatas seperti yang dijelaskan oleh ahli bahasa. Pembatasan tersebut mengharuskan setiap amalan dilandasi dengan
niat, Terdapat beberapa pendapat mengenai maksud sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam إنما .العمال بالنيات
Pendapat pertama, mengatakan sesungguhnya maksud dari sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam ات _ ال بالني _ إنما العم yaitu keabsahan dan diterimanya suatu amalan adalah karena niat yang melandasinya, sehingga sabda beliau ini berkaitan dengan keabsahan suatu amalan dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam selanjutnya وإنما لكل امرئ ما نوى maksudnya adalah seseorang akan mendapatkan ganjaran dari amalan yang dia kerjakan sesuai dengan niat yang melandasi amalnya. Pendapat kedua mengatakan bahwa sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam إنما العمال بالنيات menerangkan bahwa sebab terjadi suatu amalan adalah dengan niat, karena segala amalan yang
dilakukan seseorang mesti dilandasi dengan keinginan dan maksud untuk beramal, dan itulah niat. Maka faktor pendorong terwujudnya suatu amalan, baik amalan yang baik maupun yang buruk adalah keinginan hati untuk melakukan amalan tersebut. Apabila hati ingin melakukan suatu amalan dan kemampuan untuk melakukannya ada, maka amalan tersebut akan terlaksana. Sehingga maksud sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ات _ ال بالني _ ا العم _ إنم adalah amalan akan terwujud dan terlaksana dengan sebab adanya niat, yaitu keinginan hati untuk melakukan amalan tersebut. Dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam وإنما لكل امرئ ما نوى memiliki
kandungan bahwa ganjaran pahala akan diperoleh oleh seseorang apabila niatnya benar, apabila niatnya benar maka amalan tersebut merupakan amalan yang shalih.
Pendapat yang kuat adalah pendapat pertama, karena niat berfungsi mengesahkan suatu amalan dan sabda beliau [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya] adalah penjelasan terhadap perkara-perkara yang dituntut oleh syari'at bukan sebagai penjelas terhadap seluruh perkaraperkara yang terjadi.
Kesimpulannya, pendapat terkuat dari dua tafsiran ulama di atas mengenai maksud dari sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya] adalah keabsahan amalan ditentukan oleh niat dan setiap orang mendapatkan ganjaran dan pahala sesuai dengan apa yang diniatkan.


Definisi Amal
العمال adalah bentuk jamak dari العمل , yaitu segala sesuatu yang dilakukan seorang mukallaf dan ucapan termasuk dalam definisi ini. Yang perlu diperhatikan maksud amal dalam hadits tersebut tidak terbatas pada ucapan, perbuatan atau keyakinan semata, namun lafadz العمال dalam hadits di atas adalah segala sesuatu yang dilakukan mukallaf berupa perkataan, perbuatan, ucapan hati, amalan hati, perkataan lisan dan amalan anggota tubuh. Maka seluruh perkara yang berkaitan dengan iman termasuk dalam sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya] karena iman terdiri dari ucapan (baik ucapan lisan maupun ucapan hati) dan amalan (baik amalan hati dan amalan anggota tubuh). Maka seluruh perbuatan mukallaf tercakup dalam sabda beliau di atas. Namun keumuman lafadz العمال dalam hadits ini tidaklah mutlak, karena yang dimaksud dalam hadits tersebut hanya sebagian amal saja, tidak mutlak walaupun lafadznya umum. Hal ini dapat diketahui bagi mereka yang telah mempelajari ilmu ushul. Karena segala amalan yang tidak dipersyaratkan niat untuk mengerjakannya tidaklah termasuk dalam sabda beliau [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya], seperti meninggalkan keharaman, mengembalikan hak-hak orang yang dizhalimi, menghilangkan najis dan yang semisalnya.
Permasalahan Niat
Jika niat adalah keinginan dan kehendak hati, maka niat tidak boleh diucapkan dengan lisan
karena tempatnya adalah di hati karena seseorang berkeinginan atau berkehendak di dalam
hatinya untuk melakukan sesuatu. Maka amalan yang dimaksud dalam hadits ini adalah amalan
yang dilandasi dengan keinginan dan kehendak hati, atau dengan kata lain amalan yang disertai
pengharapan untuk mendapatkan wajah Allah. Oleh karena itu makna niat ditunjukkan dengan
lafadz yang berbeda-beda. Terkadang dengan lafadz الرادة dan terkadang dengan lafadz البتغاء
atau lafadz lain yang semisalnya. Seperti firman Allah,
"Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari wajah Allah; dan mereka Itulah orangorang
beruntung." (QS. Ar Ruum: 38)"Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki wajah-Nya." (QS. Al An'am: 52)
"Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan
senja hari dengan mengharap wajah-Nya." (QS. Al Kahfi: 28)
Atau firman Allah yang semisal dengan itu seperti,                                 
"Barang siapa yang menghendaki Keuntungan di akhirat akan Kami tambah Keuntungan itu
baginya." (QS. Asy Syuura: 20)
Atau dengan lafadz البتغاء seperti firman Allah,
"Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang
yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian
di antara manusia. dan Barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah,
Maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar." (QS. An Nisaa': 114)
"Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha
tinggi." (QS. Al Lail: 20)
Sehingga lafadz niat dalam nash-nash Al Quran dan Sunnah terkadang ditunjukkan dengan lafadz الرادة , lafadz البتغاء atau lafadz لم _ الس yang bermakna ketundukan hati dan wajah kepada Allah.
Makna Niat
Lafadz niat yang tercantum dalam firman Allah 'azza wa jalla atau yang digunakan dalam syariat mengandung dua makna. Pertama, niat yang berkaitan dengan ibadah itu sendiri dan yang kedua bermakna niat yang berkaitan dengan Zat yang disembah (objek/sasaran peribadatan). Maka niat itu ada dua jenis:
Pertama, niat yang berkaitan dengan ibadah itu sendiri. Niat dengan pengertian semacam ini sering digunakan ahli fikih dalam pembahasan hukum-hukum ibadah yaitu ketika mereka
menyebutkan syarat-syarat suatu ibadah, semisal perkataan mereka "Syarat pertama dari ibadah ini adalah adanya niat" Niat dalam perkataan mereka tersebut adalah niat dengan makna yang pertama, yaitu niat yang berkaitan dengan zat ibadah itu sendiri sehingga dapat dibedakan dengan ibadah yang lain.
Jenis yang kedua, adalah niat yang berkaitan dengan Zat yang disembah (objek/sasaran
peribadatan) atau sering dinamakan dengan الخلص , yaitu memurnikan hati, niat dan amal hanya kepada Allah 'azza wa jalla.
Kedua makna niat di atas tercakup dalam hadits ini. Maka maksud sabda Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam إنما العمال بالنيات adalah sesungguhnya keabsahan suatu ibadah ditentukan oleh niat,
yaitu niat yang membedakan ibadah tersebut dengan yang lain dan niat yang bermakna
mengikhlaskan peribadatan hanya kepada Allah. Sehingga tidak tepat pendapat yang mengatakan bahwa niat yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah niat yang bermakna ikhlas saja atau pendapat yang mengatakan ikhlas tidak termasuk dalam perkataan ahli fikih ketika membahas
permasalahan niat.





Kedudukan Niat Dalam Amal - Penjelasan Hadits
Arbain Pertama (2)
Sabda Nabi shallallahu 'Alaihi wa sallam "Setiap Orang Akan Mendapatkan Ganjaran
Sesuai Dengan Apa Yang Diniatkannya"
Di dalam sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam [setiap orang akan mendapatkan ganjaran
sesuai dengan apa yang diniatkannya] mengandung pembatasan, yakni setiap orang hanya akan mendapatkan ganjaran dan pahala sesuai dengan niat yang melandasi amalannya. Jika niatnya ditujukan untuk Allah dan meraih kampung akhirat maka amalannya adalah amalan yang salih, dan sebaliknya apabila niatnya hanyalah untuk meraih dunia maka amalan yang dia lakukan adalah amalan yang rusak dan buruk. Hal ini ditunjukkan dalam firman Allah,
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus." (QS. Al Bayyinah: 5)
Maksudnya adalah agama yang dilandasi niat ikhlas dan bebas dari syirik sebagaimana firman-Nya,
"Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)." (QS. Az Zumar: 3)
Pembahasan ikhlas pun dijelaskan dalam hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti sabda beliau dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih-nya,
"Aku tidak butuh kepada sekutu. Barang siapa yang melakukan suatu amalan dan menyekutukan-
Ku dalam amalan tersebut, aku tinggalkan dia bersama sekutunya." (HR. Muslim nomor 5300)
Dalil ini menunjukkan wajibnya memurnikan amalan ibadah bagi Allah semata, sehingga amalan tersebut dapat diterima dan diberi pahala. Maka konsekuensi logisnya adalah seseorang yang mengerjakan suatu amalan dan tercampur niatan selain Allah dalam amal tersebut maka amalannya batal dan rusak. Namun hal ini masih menyisakan pertanyaan. Bagaimana hukumnya jika niatan untuk selain Allah itu terletak di awal ibadah, pertengahan, di akhir ibadah atau terletak di rukun yang satu namun tidak di rukun yang lain? Permasalahan ini memiliki 3 kondisi sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama'.
Pertama, seseorang yang memulai amalannya dengan niat riya' atau sum'ah kepada makhluk. Maka amalannya batal dan dia adalah seorang musyrik kafir sebagaimana disebutkan dalam hadits,
"Barang siapa yang shalat, berpuasa dan bersedekah dengan tujuan riya' maka dia telah berbuat
syirik." (HR. Ahmad nomor 16517)
Yang patut diperhatikan adalah riya' dalam seluruh amalan seorang muslim tidak mungkin terjadi, namun riya' hanyalah terjadi di sebagian amalan seorang muslim, terkadang di permulaan ibadah atau di pertengahan ibadah, tidak seluruhnya! Riya' model itu hanyalah dilakukan oleh kaum kafir dan munafik sebagaimana firman Allah ketika menyifati orang-orang munafik,
"Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut
Allah kecuali sedikit sekali." (QS. An NIsaa': 142)
Dan firman-Nya ketika menyifati orang-orang kafir,
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan
menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan
hartanya karena riya kepada manusia dan Dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian."
(QS. Al Baqarah: 264)
Oleh karenanya apabila niat awal seseorang ketika melakukan shalat, berpuasa atau bersedekah adalah kepada selain Allah (seperti riya' atau sum'ah) maka seluruh amalan tersebut rusak dan
batal. Kedua, niatan kepada selain Allah itu terjadi ketika sedang melaksanakan ibadah. Terdapat dua kondisi untuk permasalahan ini:
Kondisi pertama, orang tersebut membatalkan niatnya yang semula ikhlas dan digantikan dengan niatan kepada selain Allah, maka hukumnya seperti permasalahan pertama di atas, karena dia
telah membatalkan niatnya yang semula ikhlas kemudian menujukan ibadah tersebut kepada makhluk.
Kondisi kedua, seseorang memulai ibadahnya dengan ikhlas kemudian membaguskan ibadahnya seperti memperpanjang shalatnya karena orang lain melihatnya, atau memperpanjang rukuknya di luar kebiasaannya karena seseorang melihatnya. Maka hal ini tidak merusak pokok amalannya yang terletak di permulaan ibadah karena dia melakukannya dengan ikhlas, namun yang rusak adalah amalan yang tercampur dengan riya' dan dia adalah seorang musyrik yang melakukan
Syirik Ashghar-wal 'iyadzu billah. Ketiga, seseorang yang merasa senang dengan pujian orang lain setelah dia melakukan ibadah kepada Allah Ta'ala dengan ikhlas seperti seseorang yang shalat, menghafal Al Quran, berpuasa ikhlas kepada Allah Ta'ala kemudian orang lain memujinya dan dia merasa senang dengan hal tersebut. Dalam kondisi ini, hal tersebut tidaklah membatalkan pokok amalannya karena dia melakukan amalan tersebut dengan niat ikhlas kepada Allah dan niatnya tidak berubah ketika sedang melaksanakannya namun rasa senang tersebut muncul setelah dia selesai mengerjakan amalan tersebut. Hal ini adalah kabar gembira baginya sebagaimana disebutkan dalam hadits,
"Hal tersebut merupakan kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin, yaitu dia
mendengar pujian manusia kepadanya karena ibadah yang dilakukannya padahal dia tidak
menginginkannya." (HR. Muslim nomor 4780; HR. Ahmad nomor 20416, 20432, 20503; HR.
Baihaqi dalam Syu'abul Iman nomor 6745, 6746, 6747)

Pembagian Amal
Amalan juga terbagi dua, apabila ditinjau dari sisi niat yang mengiringinya. Pertama, amalan yang hanya boleh diniatkan untuk memperoleh wajah Allah dan tidak boleh diiringi dengan niat untuk memperoleh ganjaran di dunia. Jenis ini terdapat di sebagian besar perkara ibadah.
Kedua, perkara ibadah yang didorong oleh Allah untuk dilakukan dengan menyebutkan
ganjarannya di dunia, seperti menyambung kekerabatan sebagaimana sabda Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam,
"Barang siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya dia
menyambung kekerabatan." (HR. Bukhari nomor 1925, 5526)
Atau seperti sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam,
"Barang siapa yang membunuh musuh dalam peperangan, maka harta orang tersebut menjadi
miliknya." (HR. Malik 3/339; Tirmidzi 6/66; Ath Thabrani 6/392-394; Ad Darimi 7/436; Ibnu
Hibban 14/119, 20/199)
Maka di dalam hadits ini terdapat dorongan untuk berjihad disertai penyebutan ganjaran di dunia. Maka dalam amalan model ini, boleh bagi seseorang mengharapkan ganjaran di dunia (di samping mengharapkan niat mencari wajah Allah -pent), karena Allah tidak mungkin menyebutkannya kecuali Allah telah mengizinkan hal tersebut. Oleh karenanya, boleh bagi seseorang menyambung kekerabatan dengan niat ikhlas kepada Allah namun dia juga mengharapkan agar mendapatkan ganjaran di dunia seperti kelapangan rezeki dan umur yang panjang. Atau seseorang berjihad untuk mendapatkan ghanimah dan niatnya ikhlas kepada Allah, maka hal ini diperbolehkan dan niatnya tersebut tidak termasuk sebagai syirik dalam niat karena Allah telah mengizinkan hal tersebut dengan menyebutkan ganjarannya di dunia apabila dilakukan. Sehingga amalan itu terbagi menjadi dua, yakni ibadah yang disebutkan ganjarannya di dunia oleh Allah 'Azza wa Jalla dan ibadah yang tidak disebutkan ganjarannya di dunia oleh Allah 'Azza wa Jalla. Hal ini disebutkan dalam firman Allah 'Azza wa Jalla,
"Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan
kepada mereka Balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu
tidak akan dirugikan." (QS. Huud: 15)
Namun yang perlu diperhatikan bahwa derajat seseorang yang menyambung kekerabatan dengan niat ikhlas kepada Allah lebih tinggi dan lebih besar pahalanya daripada seseorang yang menyambung kekerabatan untuk mendapatkan dunia di samping niat ikhlas kepada Allah. Oleh karenanya, para ulama salaf di antaranya adalah Imam Ahmad ketika ditanya mengenai hal ini,
maka beliau menjawab, "Pahalanya sesuai dengan kadar niatnya." Niat untuk mendapatkan dunia ini tidaklah membatalkan pokok amalnya akan tetapi pahalanya berkurang sesuai kadar niatnya terhadap dunia. Sehingga semakin ikhlas kepada Allah dalam amalan model ini, maka semakin besar pula pahalanya dan begitu pula sebaliknya.
Sekelumit Tentang Hijrah
Huruf fa' ( الفاء )dalam sabda beliau فمن كانت هجرته berfungsi untuk merinci jenis amalan yang terkadang ditujukan kepada Allah atau ditujukan kepada selain Allah dan dalam hadits ini Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan permisalan dengan hijrah.
Hijrah ( رة _ الهج ) bermakna meninggalkan ( ترك _ ال ). Pada dasarnya, tujuan berhijrah adalah berhijrah kepada Allah 'azza wa jalla dengan ikhlas dan mengharapkan pahala yang ada di sisi- Nya dan juga berhijrah kepada rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu dengan mengikuti dan tunduk kepada ajaran yang beliau bawa. Terdapat dua golongan dalam sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, Pertama, golongan yang berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya dengan niat ikhlas sehingga mendapatkan ganjaran dan pahala dari hijrahnya tersebut. Salah satu contoh dalam masalah ini adalah seseorang yang berhijrah dari negeri syirik dan kufur menuju negeri Islam atau seseorang
yang berhijrah dari daerah yang penuh kebid'ahan dan kemungkaran menuju daerah yang
menegakkan sunah dan minim kemungkaran. Adapun hukumnya dibahas dalam kitab-kitab fiqih secara terperinci.
Kedua, golongan yang berhijrah karena motivasi duniawi sebagaimana dalam sabda beliau
shallallahu 'alaihi wa sallam, [Barang siapa yang berhijrah karena mencari dunia atau karena ingin menikahi seorang wanita, maka hijrahnya tersebut kepada apa yang dia tuju]. Golongan ini seperti seorang pedagang yang berhijrah karena ingin mendapatkan harta atau perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrah yang dia lakukan tidak mendatangkan pahala baginya dan terkadang dia memperoleh dosa.
*puunten kalo kepanjangaan

Created by : megaman :D :D