Semua Penulis itu akan Mati… Hanya Karyanya lah yang akan terus Abadi… Maka Tulislah Sesuatu yang Membahagiakan Dirimu di Akhirat nanti…” (ALI bin ABI THALIB)
Peradaban madani sebuah Negara terlahir
dari beberapa peradaban kecil, yaitu masyarakat, keluarga dan diri sendiri.
Masyarakat madani terbentuk dari para pemuda yang berkarakter qur’ani,
inovatif, kreatif dan prestatif. Kampus merupakan salah satu wadah pendidikan
bagi para pemuda dan pemudi nya, yang akan membangun sendi serta kerangka
peradaban madanisebuah Negara. Wilayah
bogor memiliki sebuah kampus yang mampu mencuri perhatian dibanding kampus –
kampus yang berada di wilayah Bogor kecuali IPB. Kampus yang terpencil ditengah
masyarakat, kampus yang tidak begitu luas bahkan bisa dikatakan kampus kecil
ditengah keramaian hiruk-pikuk masyarakat. Kampus ini sangat unik di balik
fungsi nya sebagai kegiatan pembelajaran para kaum intelektual atau biasa
disebut mahasiswa, kampus ini seperti memilki sebuah energy, semangat, dan nuansa islami yang begitu kental. Ketika kita
menginjakkan kaki di depan kampus tersebut ada pertanyaan yang pasti terbesit
dalam pikiran kita yaitu “ apakah ini kampus atau sebuah pesantren?” ya
terlihat dari awal saat langkah kita memasuki lapangan parkir atas dipenuhi
pemuda dan pemudi yang ramah dengan menebarkan salam, banyak kelompok yang
mengkaji al-qur’an atau sekedar berdiskusi tentang suatu masalah kampus.
Hal
ini tidak berhenti disini, ketika kita memasuki lebih dalam ke tempat pusat
aktivitas kaum muslimin atau bisa kita sebut “ masjid”, disini memiliki suasana
yang berbeda sebuah energi yang sangat kuat sebuah energi kerinduan akan
RabbNyaberbeda sekali ketika kita masuk
ke masjid-masjid di lingkungan masyarakat yang sepi dengan jamaah nya. Disini
banyak kita temukan para kaum pemudi yang kebanyakan telah menutupi
kehormatannya dengan sebuah hijabnya sedang asyik dengan al-qur’an nya, mengisi
halaqoh/ mencari ilmu Allah, ataupun sekedar bermusyawarah membahas program
yang bermanfaat untuk orang lain dengan tetap menjaga izzah antara pemuda dan
pemudinya. Sungguh energy positif di tempat ini sangat luar biasa, semangat
menggelora pemuda dan pemudinya dalam menyebarkan kebaikan mampu membuat siapa
saja yang berada disekelilingnya terhipnotis untuk bergabung. Ditengah
kesibukan akademik mereka masih sempat bertemu RabbNya untuk berinteraksi
dengan cara mengisi segala aktivitas yang bermanfaat untuk orang lain.
Hal lain
yang mencuri perhatian saya tidak hanya aktivitas kampus ini yang begitu unik,
tetapi keramahan dan kehangatan menyambut tamu sungguh mengingatkan saya kepada
teladan saya yaitu Rasullullah yang selalu menyambut saudaranya dengan kehangatan
yang membuat sebuah kenyamanan. Kampus ini bukan sekedar kampus biasa yang
hanya melaksanakan kegiatan akademisi, tapi kampus yang mampu mencetak Generasi
Rabbani dan Qur’ani yang kreatif, prestatif dan inovatif serta peduli dengan
lingkungan sekitar. Inilah kampus saya AKADEMI KIMIA ANALISIS BOGOR sebuah
kampus madani, ya kampus yang mendidik saya bukan hanya sekedar ilmu eksak tapi
sebuah ilmu kehidupan. Beruntunglah Allah membawa saya untuk menginjakkan
langkah masa depan saya melewati kampus ini sehingga membawa saya mengenal
Allah dan RasulNya serta memberikan saya ilmu akademis. Kerinduan selalu
mendera setiap saat ketika memikirkan kampus ini entah mengapa hal ini selalu
terjadi, kerinduan akan kehangatan ukhuwah, kerinduan akan idealisme, kerinduan
akan perjuangan bersama sahabat. Saya berharap bahwa kampus ini akan selalu
menjadi kampus madani, kampus yang selalu berprestasi, kampus yang selalu
memancarkan kebermanfaatan bagi oranglain dan kampus yang mampu mencetak kaum
intelek yang berkarakter Rabbani.
[رواه إماما المحدثين أبو
عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة البخاري وابو الحسين
مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب
المصنفة
Dari
Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin al-Khaththab radiallahuanhu, dia berkata:
“Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
‘Sesungguhnya setiap perbuatan itu tergantung niatnya. Dan sesungguhnya
setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang
hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka
hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya
karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka
hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.’” [1]
Sebuah rangkaian hadist ar’bain
pertama yang memberikan kita sebuah pedoman bahwa
"Sesungguhnya Seluruh Amalan Itu
Bergantung Pada Niatnya"
Dalam rangkain hadist
arbain pertama terdapat beberapa lafadz dalam sabda rassulullah saw karena lafadz
العمل
dan النية dalam bentuk tunggal mencakup seluruh jenis amalan dan niat. Di dalam
sabda beliau [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan
setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya]
terkandung pembatasan.
Karena lafadz "innama" merupakan
salah satu lafadz pembatas seperti yang dijelaskan oleh ahli bahasa. Pembatasan tersebut
mengharuskan setiap amalan dilandasi dengan niat, Terdapat beberapa pendapat
mengenai maksud sabda Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam بالنيات لعمالإنما.ا
Pendapat pertama, mengatakan sesungguhnya maksud
dari sabda Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam ات _ ال بالني _ إنما العم yaitu keabsahan
dan diterimanya suatu amalan adalah karena niat yang melandasinya, sehingga
sabda beliau ini berkaitan dengan keabsahan suatu amalan dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam selanjutnya امرئ ما نوى لكل وإنما maksudnya adalah seseorang akan mendapatkan
ganjaran dari amalan yang dia kerjakan sesuai dengan niat yang melandasi
amalnya. Pendapat kedua mengatakan bahwa sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam إنما العمال
بالنيات menerangkan bahwa sebab terjadi suatu amalan adalah dengan niat, karena
segala amalan yang dilakukan seseorang mesti dilandasi dengan keinginan dan
maksud untuk beramal, dan itulah
niat.
Maka faktor pendorong terwujudnya suatu amalan,
baik amalan yang baik maupun yang buruk adalah keinginan hati untuk melakukan
amalan tersebut. Apabila hati ingin melakukan suatu amalan dan kemampuan untuk
melakukannya ada, maka amalan tersebut akan terlaksana. Sehingga maksud sabda
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ات _ ال بالني
_ ا العم _ إنم adalah amalan akan
terwujud dan terlaksana dengan sebab adanya niat, yaitu keinginan hati untuk
melakukan amalan tersebut. Dan sabda Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam memiliki kandungan
bahwa ganjaran pahala akan diperoleh oleh seseorang apabila niatnya benar,
apabila niatnya benar maka amalan tersebut merupakan amalan yang shalih. Pendapat
yang kuat adalah pendapat pertama, karena niat berfungsi mengesahkan suatu
amalan dan sabda beliau [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada
niatnya dan setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya]
adalah penjelasan terhadap perkara-perkara yang dituntut oleh syari'at bukan
sebagai penjelas terhadap seluruh perkaraperkara yang terjadi. Kesimpulannya,
pendapat terkuat dari dua tafsiran ulama di atas mengenai maksud dari sabda beliau
shallallahu 'alaihi wa sallam [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada
niatnya] adalah
keabsahan amalan ditentukan oleh niat dan setiap orang mendapatkan ganjaran dan pahala sesuai dengan apa yang diniatkan.
Makna niat
Kata انِّيَّاتِ adalah bentuk jamak dari kata
‘niyyat’, yang secara bahasa berarti maksud dan tujuan. Adapun secara istilah
syar’i artinya: kuatnya hati untuk melakukn suatu ibadah dalam rangka
mendekatkan diri kepada AllahSubhanahu wa-ta‘ala. Tempat munculnya
niat adalah hati, dan niat (pada dasarnya) adalah perbuatan hati yang tidak ada
kaitannya dengan amalan anggota tubuh lainnya (seperti mulut).
Tujuan adanya niat dalam suatu ibadah adalah untuk menjadi pembeda
antara suatu perbuatan yang hanya merupakan adat kebiasaan (yang tidak bernilai
pahala) dengan suatu amal ibadah (yang bernilai pahala). Tujuan lainnya adalah
untuk menjadi pembeda antara ibadah yang satu dengan ibadah yang lainnya.
Dalam firman Allah Azza Wa Jalla makna dari niat
mengandung dua makna, makna pertama niat
yang berkaitan dengan ibadah manusia yaitu Niat dengan pengertian semacam ini sering
digunakan ahli fikih dalam pembahasan hukum-hukum ibadah yaitu ketika mereka menyebutkan
syarat-syarat suatu ibadah, semisal perkataan mereka "Syarat pertama dari ibadahini
adalah adanya niat" Niat
dalam perkataan mereka tersebut adalah niat dengan makna yang pertama, yaitu
niat yang berkaitan dengan zat ibadah itu sendiri sehingga dapat dibedakan dengan
ibadah yang lain
Makna kedua
niat berkaitan dengan Zat yang disembah manusia yaitu memurnikan hati,
niat dan amal hanya kepada Allah 'azza wa jalla.
Beberapa Faedah (Pelajaran) Dalam Hadits
Arbain pertama:
1.Satu hadits tentang inti ajaran Islam, sebab kebanyakan
ulama berkata: “Inti ajaran Islam kembali kepada dua hadits; pertama hadits
ini, dan kedua, hadits ‘Aisyah, di mana beliau bersabda: ‘Siapa yang
mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal darinya, maka dia
tertolak.’” [2]Hadits yang pertama ini adalah rujukan serta timbangan amalan
hati, sedangkan hadits ‘Aisyah merupakan rujukan untuk amalan lahiriah.
2.Kita wajib menentukan niat bagi masing-masing ibadah,
juga wajib membedakan antara ibadah dan mu’amalah, berdasarkan sabda
beliau Shallallahu’alaihi wasallam; “Sesungguhnya setiap perbuatan
tergantung niatnya,” seperti orang yang akan melaksanakan shalat Zhuhur, maka
ia harus berniat akan shalat Zhuhur, hingga bisa dibedakan dari yang lainnya.
3. Mendorong kita untuk selalu ikhlas kepadaAllahSubhanahu wa-ta‘ala, sebab NabiShallallahu’alaihi wasallamtelah membagi manusia kepada dua macam. Pertama: manusia
yang menginginkan dengan amalnya wajahAllahSubhanahu
wa-ta‘ala dan balasan hari akhirat. Kedua: sebaliknya. Hal ini jelas sekali,
BeliauShallallahu’alaihi wasallamsangat menganjurkan kita untuk selalu ikhlas kepada-Nya.
4.Indahnya metode pengajaran RasulullahShallallahu’alaihi wasallam, Nampak dari ragamnya
penjelasan beliau serta pembagian materi yang rinci, (dengan harapan, para Sahabat
memahami maksud dari ungkapan beliau). Di saat beliau bersabda: “Sesungguhnya
setiap perbuatan tergantung niatnya,” maka yang beliau maksudkan adalah kepada
amalan. Dan di saat beliau bersabda: “Dan sesungguhnya setiap orang (akan
dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan,” maka yang beliau maksudkan adalah
kepada hasil dari niatnya.
1] HR. Al-Bukhari, kitab Bad-ul Wahyi, bab: Kaifa Kaana Bad-ul
wahyi ilaa Rasuulillahi Shallallahu’alaihi
wasallam, (no. 1). Muslim, kitab al-Imaarah, bab: Qauluhu saw Innamal
A’maalu binniyyah wa Annahu yadkhulu fiihi al-Ghazwu wa Gharihi minal A’maali,
(no.1907 (155)).
[2] HR. Al-Bukhari, kitab as-Sulhu bab Idza Isthalahuu ‘ala
Sulhi Juurin fash Shulhu Marduudun (no. 2647). Muslim, kitab alaqdhiyyah, bab
Naqdhul Ahkaamil Baathilah, wa Raddul Muhdataatil Umuur, (no. 1718 (17)).
by : TRSU
-->
Kedudukan Niat Dalam
Amal - Penjelasan Hadits
Arbain Pertama (1)
"Dari Amirul
Mukminin, Umar bin Khatthab radhiallahu 'anhu, beliau berkata: Sesungguhnya
seluruh amalan itu
bergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai
dengan apa yang
diniatkannya. Barang siapa yang berhijrah karena Allah dan rasul-Nya, maka
hijrahnya menuju
keridhaan Allah dan rasul-Nya. Barang siapa yang berhijrah karena mencari
dunia atau karena
ingin menikahi seorang wanita, maka hijrahnya tersebut kepada apa yang dia
tuju." (HR. Bukhari no. 1,
Muslim no. 155, 1907)
Kedudukan Hadits
Hadits ini begitu agung hingga sebagian
ulama salaf mengatakan, "Hendaknya hadits ini
dicantumkan di
permulaan kitab-kitab yang membahas ilmu syar'i." Oleh karena itu Imam
Al
Bukhari memulai kitab Shahih-nya
dengan mencantumkan hadits ini. Imam Ahmad berkata,
"Poros agama
Islam terletak pada 3 hadits, yaitu hadits Umar إنما العمال بالنيات , hadits
'Aisyah
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد ,
dan hadits An Nu'man bin Basyir الحلل بين والحرام
ن_ بي ." Perkataan beliau ini
memiliki maksud, yaitu bahwasanya amalan seorang mukallaf berkisar antara
melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan. Dua hal ini termasuk dalam
perkara halal atau haram, selain itu terdapat jenis ketiga yaitu perkara
syubhat yang belum diketahui secara jelas hukumnya, dan ketiga perkara ini
terdapat dalam hadits An Nu'man bin Basyir. Dan telah diketahui bersama,
seorang yang hendak mengamalkan sesuatu, baik melaksanakan suatu perintah atau
meninggalkan larangan harus dilandasi dengan niat agar amalan tersebut benar. Maka
nilai suatu amal bergantung kepada adanya niat yang menentukan amalan tersebut
apakah benar dan diterima. Dan segala perkara yang diwajibkan atau dianjurkan
Allah 'Azza wa Jalla harus diukur dengan timbangan yang pasti sehingga amalan
itu sah dan hal ini ditentukan oleh hadits 'Aisyah di atas. Sehingga hadits ini
senantiasa dibutuhkan di setiap perkara, di saat melaksanakan perintah, meninggalkan
larangan dan ketika berhadapan dengan perkara syubhat. Berdasarkan hal itu, kedudukan
hadits ini begitu agung, karena seorang mukallaf senantiasa membutuhkan niat,
baik dalam melaksanakan perintah dan meninggalkan perkara yang haram atau syubhat.
Semua perbuatan tersebut itu tidak akan bernilai kecuali diniatkan untuk
mencari wajah Allah Jalla wa 'Alaa.
Tafsiran Ulama
Mengenai "Sesungguhnya Seluruh Amalan Itu Bergantung Pada
Niatnya"
Terdapat beberapa lafadz dalam sabda
beliau إنما العمال بالنيات terkadang lafadz النية dan العمل disebutkan dalam
bentuk tunggal atau jamak walaupun demikian kedua bentuk tersebut memiliki makna
yang sama, karena lafadz العمل dan النية dalam bentuk tunggal mencakup seluruh
jenis amalan dan niat. Di dalam sabda beliau [Sesungguhnya seluruh amalan itu
bergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai
dengan apa yang diniatkannya] terkandung pembatasan. Karena lafadz "innama"
merupakan salah satu lafadz pembatas seperti yang dijelaskan oleh ahli bahasa.
Pembatasan tersebut mengharuskan setiap amalan dilandasi dengan
niat, Terdapat beberapa pendapat
mengenai maksud sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam إنما .العمال بالنيات
Pendapat pertama, mengatakan
sesungguhnya maksud dari sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam ات _ ال بالني _ إنما العم
yaitu keabsahan dan diterimanya suatu amalan adalah karena niat yang
melandasinya, sehingga sabda beliau ini berkaitan dengan keabsahan suatu amalan
dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam selanjutnya وإنما لكل امرئ ما
نوى maksudnya adalah seseorang akan mendapatkan ganjaran dari amalan yang dia
kerjakan sesuai dengan niat yang melandasi amalnya. Pendapat kedua mengatakan
bahwa sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam إنما العمال بالنيات menerangkan
bahwa sebab terjadi suatu amalan adalah dengan niat, karena segala amalan yang
dilakukan seseorang mesti dilandasi
dengan keinginan dan maksud untuk beramal, dan itulah niat. Maka faktor
pendorong terwujudnya suatu amalan, baik amalan yang baik maupun yang buruk
adalah keinginan hati untuk melakukan amalan tersebut. Apabila hati ingin
melakukan suatu amalan dan kemampuan untuk melakukannya ada, maka amalan
tersebut akan terlaksana. Sehingga maksud sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam ات _ ال بالني _ ا العم _ إنم adalah amalan akan terwujud dan
terlaksana dengan sebab adanya niat, yaitu keinginan hati untuk melakukan amalan
tersebut. Dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam وإنما لكل امرئ ما
نوى memiliki
kandungan bahwa ganjaran pahala akan
diperoleh oleh seseorang apabila niatnya benar, apabila niatnya benar maka
amalan tersebut merupakan amalan yang shalih.
Pendapat yang kuat adalah pendapat
pertama, karena niat berfungsi mengesahkan suatu amalan dan sabda beliau
[Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan setiap orang akan
mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya] adalah penjelasan
terhadap perkara-perkara yang dituntut oleh syari'at bukan sebagai penjelas
terhadap seluruh perkaraperkara yang terjadi.
Kesimpulannya, pendapat terkuat dari
dua tafsiran ulama di atas mengenai maksud dari sabda beliau shallallahu
'alaihi wa sallam [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya]
adalah keabsahan amalan ditentukan oleh niat dan setiap orang mendapatkan ganjaran
dan pahala sesuai dengan apa yang diniatkan.
Definisi Amal
العمال adalah bentuk jamak dari العمل ,
yaitu segala sesuatu yang dilakukan seorang mukallaf dan ucapan termasuk dalam
definisi ini. Yang perlu diperhatikan maksud amal dalam hadits tersebut tidak
terbatas pada ucapan, perbuatan atau keyakinan semata, namun lafadz العمال dalam
hadits di atas adalah segala sesuatu yang dilakukan mukallaf berupa perkataan,
perbuatan, ucapan hati, amalan hati, perkataan lisan dan amalan anggota tubuh.
Maka seluruh perkara yang berkaitan dengan iman termasuk dalam sabda Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya]
karena iman terdiri dari ucapan (baik ucapan lisan maupun ucapan hati) dan
amalan (baik amalan hati dan amalan anggota tubuh). Maka seluruh perbuatan
mukallaf tercakup dalam sabda beliau di atas. Namun keumuman lafadz العمال dalam
hadits ini tidaklah mutlak, karena yang dimaksud dalam hadits tersebut hanya
sebagian amal saja, tidak mutlak walaupun lafadznya umum. Hal ini dapat diketahui
bagi mereka yang telah mempelajari ilmu ushul. Karena segala amalan yang tidak dipersyaratkan
niat untuk mengerjakannya tidaklah termasuk dalam sabda beliau [Sesungguhnya seluruh
amalan itu bergantung pada niatnya], seperti meninggalkan keharaman,
mengembalikan hak-hak orang yang dizhalimi, menghilangkan najis dan yang
semisalnya.
Permasalahan Niat
Jika niat adalah keinginan dan kehendak
hati, maka niat tidak boleh diucapkan dengan lisan
karena tempatnya adalah di hati karena
seseorang berkeinginan atau berkehendak di dalam
hatinya untuk melakukan sesuatu. Maka
amalan yang dimaksud dalam hadits ini adalah amalan
yang dilandasi dengan keinginan dan
kehendak hati, atau dengan kata lain amalan yang disertai
pengharapan untuk mendapatkan wajah
Allah. Oleh karena itu makna niat ditunjukkan dengan
lafadz yang berbeda-beda. Terkadang
dengan lafadz الرادة dan terkadang dengan lafadz البتغاء
atau lafadz lain yang semisalnya. Seperti
firman Allah,
"Itulah yang
lebih baik bagi orang-orang yang mencari wajah Allah; dan mereka Itulah
orangorang
beruntung." (QS. Ar Ruum: 38)"Dan
janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang
hari,sedang mereka menghendaki wajah-Nya." (QS. Al An'am: 52)
"Dan bersabarlah
kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan
senja hari dengan
mengharap wajah-Nya." (QS. Al Kahfi: 28)
Atau firman Allah yang
semisal dengan itu seperti,
"Barang siapa
yang menghendaki Keuntungan di akhirat akan Kami tambah Keuntungan itu
baginya." (QS. Asy Syuura: 20)
Atau dengan lafadz البتغاء seperti
firman Allah,
"Tidak ada
kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari
orang
yang menyuruh
(manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian
di antara manusia. dan
Barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah,
Maka kelak Kami
memberi kepadanya pahala yang besar." (QS. An Nisaa': 114)
"Tetapi (dia
memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha
tinggi." (QS. Al Lail: 20)
Sehingga lafadz niat dalam nash-nash Al
Quran dan Sunnah terkadang ditunjukkan dengan lafadz الرادة , lafadz البتغاء atau
lafadz لم _ الس yang bermakna ketundukan hati dan wajah kepada Allah.
Makna Niat
Lafadz niat yang tercantum dalam firman
Allah 'azza wa jalla atau yang digunakan dalam syariat mengandung dua makna.
Pertama, niat yang berkaitan dengan ibadah itu sendiri dan yang kedua bermakna
niat yang berkaitan dengan Zat yang disembah (objek/sasaran peribadatan). Maka
niat itu ada dua jenis:
Pertama, niat yang berkaitan dengan
ibadah itu sendiri. Niat dengan pengertian semacam ini sering digunakan ahli
fikih dalam pembahasan hukum-hukum ibadah yaitu ketika mereka
menyebutkan syarat-syarat suatu ibadah,
semisal perkataan mereka "Syarat pertama dari ibadah ini adalah adanya
niat" Niat dalam perkataan mereka tersebut adalah niat dengan makna
yangpertama, yaitu niat yang berkaitan dengan zat ibadah itu sendiri
sehingga dapat dibedakandengan ibadah yang lain.
Jenis yang kedua, adalah niat yang
berkaitan dengan Zat yang disembah (objek/sasaran
peribadatan) atau sering dinamakan
dengan الخلص , yaitu memurnikan hati, niat dan amal hanya kepada Allah 'azza wa
jalla.
Kedua makna niat di atas tercakup dalam
hadits ini. Maka maksud sabda Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam إنما العمال بالنيات adalah
sesungguhnya keabsahan suatu ibadah ditentukan oleh niat,
yaitu niat yang membedakan ibadah
tersebut dengan yang lain dan niat yang bermakna
mengikhlaskan peribadatan hanya kepada
Allah. Sehingga tidak tepat pendapat yang mengatakan bahwa niat yang dimaksud
dalam hadits tersebut adalah niat yang bermakna ikhlas saja atau pendapat yang
mengatakan ikhlas tidak termasuk dalam perkataan ahli fikih ketika membahas
permasalahan niat.
Kedudukan Niat Dalam
Amal - Penjelasan Hadits
Arbain Pertama (2)
Sabda Nabi shallallahu
'Alaihi wa sallam "Setiap Orang Akan Mendapatkan Ganjaran
Sesuai Dengan Apa Yang
Diniatkannya"
Di dalam sabda Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam [setiap orang akan mendapatkan ganjaran
sesuai dengan apa yang diniatkannya]
mengandung pembatasan, yakni setiap orang hanya akan mendapatkan ganjaran dan
pahala sesuai dengan niat yang melandasi amalannya. Jika niatnya ditujukan
untuk Allah dan meraih kampung akhirat maka amalannya adalah amalan yang salih,
dan sebaliknya apabila niatnya hanyalah untuk meraih dunia maka amalan yang dia
lakukan adalah amalan yang rusak dan buruk. Hal ini ditunjukkan dalam firman
Allah,
"Padahal mereka
tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus." (QS. Al Bayyinah: 5)
Maksudnya adalah agama yang dilandasi
niat ikhlas dan bebas dari syirik sebagaimana firman-Nya,
"Ingatlah, hanya
kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)." (QS. Az Zumar: 3)
Pembahasan ikhlas pun dijelaskan dalam
hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti sabda beliau
dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih-nya,
"Aku tidak butuh
kepada sekutu. Barang siapa yang melakukan suatu amalan dan menyekutukan-
Ku dalam amalan
tersebut, aku tinggalkan dia bersama sekutunya." (HR. Muslim nomor
5300)
Dalil ini menunjukkan wajibnya
memurnikan amalan ibadah bagi Allah semata, sehingga amalan tersebut dapat
diterima dan diberi pahala. Maka konsekuensi logisnya adalah seseorang yang mengerjakan
suatu amalan dan tercampur niatan selain Allah dalam amal tersebut maka amalannya
batal dan rusak. Namun hal ini masih menyisakan pertanyaan. Bagaimana hukumnya jika
niatan untuk selain Allah itu terletak di awal ibadah, pertengahan, di akhir
ibadah atau terletak di rukun yang satu namun tidak di rukun yang lain?
Permasalahan ini memiliki 3 kondisi sebagaimana yang dijelaskan oleh para
ulama'.
Pertama, seseorang yang memulai
amalannya dengan niat riya' atau sum'ah kepada makhluk. Maka amalannya batal
dan dia adalah seorang musyrik kafir sebagaimana disebutkan dalam hadits,
"Barang siapa
yang shalat, berpuasa dan bersedekah dengan tujuan riya' maka dia telah berbuat
syirik." (HR. Ahmad nomor
16517)
Yang patut diperhatikan adalah riya'
dalam seluruh amalan seorang muslim tidak mungkin terjadi, namun riya' hanyalah
terjadi di sebagian amalan seorang muslim, terkadang di permulaan ibadah atau
di pertengahan ibadah, tidak seluruhnya! Riya' model itu hanyalah dilakukan
oleh kaum kafir dan munafik sebagaimana firman Allah ketika menyifati
orang-orang munafik,
"Mereka bermaksud
riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut
Allah kecuali sedikit
sekali." (QS.
An NIsaa': 142)
Dan firman-Nya ketika menyifati
orang-orang kafir,
"Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan
menyebut-nyebutnya dan
menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan
hartanya karena riya
kepada manusia dan Dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian."
(QS. Al Baqarah: 264)
Oleh karenanya apabila niat awal
seseorang ketika melakukan shalat, berpuasa atau bersedekah adalah kepada
selain Allah (seperti riya' atau sum'ah) maka seluruh amalan tersebut rusak dan
batal. Kedua, niatan kepada selain
Allah itu terjadi ketika sedang melaksanakan ibadah. Terdapat dua kondisi untuk
permasalahan ini:
Kondisi pertama, orang tersebut
membatalkan niatnya yang semula ikhlas dan digantikan dengan niatan kepada
selain Allah, maka hukumnya seperti permasalahan pertama di atas, karena dia
telah membatalkan niatnya yang semula
ikhlas kemudian menujukan ibadah tersebut kepada makhluk.
Kondisi kedua, seseorang memulai
ibadahnya dengan ikhlas kemudian membaguskan ibadahnya seperti memperpanjang
shalatnya karena orang lain melihatnya, atau memperpanjang rukuknya di luar
kebiasaannya karena seseorang melihatnya. Maka hal ini tidak merusak pokok
amalannya yang terletak di permulaan ibadah karena dia melakukannya dengan
ikhlas, namun yang rusak adalah amalan yang tercampur dengan riya' dan dia
adalah seorang musyrik yang melakukan
Syirik Ashghar-wal 'iyadzu billah.
Ketiga, seseorang yang merasa senang dengan pujian orang lain setelah dia
melakukan ibadah kepada Allah Ta'ala dengan ikhlas seperti seseorang yang
shalat, menghafal Al Quran, berpuasa ikhlas kepada Allah Ta'ala kemudian orang
lain memujinya dan dia merasa senang dengan hal tersebut. Dalam kondisi ini,
hal tersebut tidaklah membatalkan pokok amalannya karena dia melakukan amalan
tersebut dengan niat ikhlas kepada Allah dan niatnya tidak berubah ketika sedang
melaksanakannya namun rasa senang tersebut muncul setelah dia selesai
mengerjakan amalan tersebut. Hal ini adalah kabar gembira baginya sebagaimana
disebutkan dalam hadits,
"Hal tersebut
merupakan kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin, yaitu dia
mendengar pujian
manusia kepadanya karena ibadah yang dilakukannya padahal dia tidak
menginginkannya."
(HR.
Muslim nomor 4780; HR. Ahmad nomor 20416, 20432, 20503; HR.
Baihaqi dalam Syu'abul Iman nomor 6745,
6746, 6747)
Pembagian Amal
Amalan juga terbagi dua, apabila
ditinjau dari sisi niat yang mengiringinya. Pertama, amalan yang hanya boleh
diniatkan untuk memperoleh wajah Allah dan tidak boleh diiringi dengan niat
untuk memperoleh ganjaran di dunia. Jenis ini terdapat di sebagian besar
perkara ibadah.
Kedua, perkara ibadah yang didorong
oleh Allah untuk dilakukan dengan menyebutkan
ganjarannya di dunia, seperti
menyambung kekerabatan sebagaimana sabda Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam,
"Barang siapa
yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya dia
menyambung
kekerabatan." (HR.
Bukhari nomor 1925, 5526)
Atau seperti sabda beliau shallallahu
'alaihi wa sallam,
"Barang siapa
yang membunuh musuh dalam peperangan, maka harta orang tersebut menjadi
miliknya." (HR. Malik 3/339;
Tirmidzi 6/66; Ath Thabrani 6/392-394; Ad Darimi 7/436; Ibnu
Hibban 14/119, 20/199)
Maka di dalam hadits ini terdapat
dorongan untuk berjihad disertai penyebutan ganjaran di dunia. Maka dalam
amalan model ini, boleh bagi seseorang mengharapkan ganjaran di dunia (di
samping mengharapkan niat mencari wajah Allah -pent), karena Allah tidak mungkin
menyebutkannya kecuali Allah telah mengizinkan hal tersebut. Oleh karenanya,
boleh bagi seseorang menyambung kekerabatan dengan niat ikhlas kepada Allah
namun dia juga mengharapkan agar mendapatkan ganjaran di dunia seperti
kelapangan rezeki dan umur yang panjang. Atau seseorang berjihad untuk
mendapatkan ghanimah dan niatnya ikhlas kepada Allah, maka hal ini
diperbolehkan dan niatnya tersebut tidak termasuk sebagai syirik dalam niat
karena Allah telah mengizinkan hal tersebut dengan menyebutkan ganjarannya di
dunia apabila dilakukan. Sehingga amalan itu terbagi menjadi dua, yakni ibadah
yang disebutkan ganjarannya di dunia oleh Allah 'Azza wa Jalla dan ibadah yang
tidak disebutkan ganjarannya di dunia oleh Allah 'Azza wa Jalla. Hal ini
disebutkan dalam firman Allah 'Azza wa Jalla,
"Barang siapa
yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan
kepada mereka Balasan
pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu
tidak akan
dirugikan." (QS.
Huud: 15)
Namun yang perlu diperhatikan bahwa
derajat seseorang yang menyambung kekerabatan dengan niat ikhlas kepada Allah
lebih tinggi dan lebih besar pahalanya daripada seseorang yang menyambung
kekerabatan untuk mendapatkan dunia di samping niat ikhlas kepada Allah. Oleh karenanya,
para ulama salaf di antaranya adalah Imam Ahmad ketika ditanya mengenai hal
ini,
maka beliau menjawab, "Pahalanya
sesuai dengan kadar niatnya." Niat untuk mendapatkan dunia ini
tidaklah membatalkan pokok amalnya akan tetapi pahalanya berkurang sesuai kadar
niatnya terhadap dunia. Sehingga semakin ikhlas kepada Allah dalam amalan model
ini, maka semakin besar pula pahalanya dan begitu pula sebaliknya.
Sekelumit Tentang
Hijrah
Huruf fa' ( الفاء )dalam sabda beliau فمن
كانت هجرته berfungsi untuk merinci jenis amalan yang terkadang ditujukan kepada
Allah atau ditujukan kepada selain Allah dan dalam hadits ini Nabi
shallallahu 'alaihi wa
sallam memberikan
permisalan dengan hijrah.
Hijrah ( رة _ الهج ) bermakna
meninggalkan ( ترك _ ال ). Pada dasarnya, tujuan berhijrah adalah berhijrah kepada
Allah 'azza wa jalla dengan ikhlas dan mengharapkan pahala yang ada di sisi- Nya
dan juga berhijrah kepada rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu
dengan mengikuti dan tunduk kepada ajaran yang beliau bawa. Terdapat dua
golongan dalam sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, Pertama,
golongan yang berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya dengan niat ikhlas sehingga mendapatkan
ganjaran dan pahala dari hijrahnya tersebut. Salah satu contoh dalam masalah
ini adalah seseorang yang berhijrah dari negeri syirik dan kufur menuju negeri
Islam atau seseorang
yang berhijrah dari daerah yang penuh
kebid'ahan dan kemungkaran menuju daerah yang
menegakkan sunah dan minim kemungkaran.
Adapun hukumnya dibahas dalam kitab-kitab fiqih secara terperinci.
Kedua, golongan yang berhijrah karena
motivasi duniawi sebagaimana dalam sabda beliau
shallallahu 'alaihi wa
sallam,
[Barang siapa yang berhijrah karena mencari dunia atau karena ingin menikahi
seorang wanita, maka hijrahnya tersebut kepada apa yang dia tuju]. Golongan ini
seperti seorang pedagang yang berhijrah karena ingin mendapatkan harta atau
perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrah yang dia lakukan tidak
mendatangkan pahala baginya dan terkadang dia memperoleh dosa.